MEMBENTUK MANUSIA UNGGUL DARI BIBIT TIDAK UNGGUL
Oleh: Zaenal Faizin Alqudsiyy
UAN 2005 membuahkan hasil yang menyesakkan dada hampir semua kalangan, terutama orang tua dan praktisi serta pengelola lembaga pendidikan. Angka ketidaklulusan siswa pada jenjang SLTP dan SLTA sangat mencemaskan karena mencapai kisaran rata-rata di atas 20 persen. Sekolah-sekolah yang mampu meluluskan siswanya sampai mencapai angka 90 – 100 persen di tiap kota di Jateng, misalnya, bisa dihitung dengan jari. Rekor lulus 100 persen hanya dimiliki oleh sekolah-sekolah unggulan.
Banyak alasan justifikatif untuk meredam kegelisahan orang tua dan rasa bersalah para praktisi dan pengelola pendidikan, antara lain: standar kelulusan semakin tinggi, sistemnya berubah, tingkat kesulitan soal cukup tinggi, dan tidak ada konversi nilai. Alasan penebus rasa bersalah yang paling aman adalah, “bibitnya memang tidak unggul, turahan (sisa) dari sekolah-sekolah unggulan.” Alasan penebus rasa bersalah ini lazim dikemukakan oleh para guru dan pengelola lembaga pendidikan non-unggulan, terutama lembaga pendidikan swasta, yang sebagian besar input siswanya memang dari para siswa yang tidak diterima di sekolah-sekolah unggulan. Kendati demikian, faktor kompetensi dan kegagapan guru dalam mengikuti perkembangan dan perubahan kurikulum juga merupakan faktor yang layak dipertimbangkan. Ketimpangan penekanan yang lebih besar pada daya ingat dan daya hafal siswa, dengan tanpa banyak menyentuh sisi analisis dan rasionalitas anak juga memiliki andil yang cukup signifikan bagi kegagalan anak.
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Tugas utama pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 adalah “mencerdasakan kehidupan bangsa.” Hidup cerdas tidaklah berarti semata memiliki pengetahuan dalam kuantitas besar dan luas, tetapi juga mendalam dan aplikatif. Kata cerdas mengisyaratkan kemampuan orang untuk berfikir dan menalar, bukan sekedar mampu mengingat dan menghafal sekian banyak pengertian dan pengetahuan. Berfikir dan menalar adalah aktivitas akal untuk membuat asosiasi, menganalisis dan merumuskan antitesis dan sintesis guna memperoleh kesimpulan dan pemahaman baru berdasar data memori yang dimiliki. Memori dan analisis bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam proses berfikir, dan inilah yang lazim disebut kemampuan kognitif dalam konteks psikologi pendidikan.
Kebanyakan lembaga pendidikan lebih banyak menekankan pengisian memori otak ketimbang mengembangkan daya nalar dan analisis. Tidak heran kalau sekolah hanya mampu melahirkan lulusan kaya pengetahuan tetapi miskin pemikiran. Karena yang dikembangkan di sekolah baru separuh kemampuan kognitif anak, maka wajar kalau banyak lulusan lembaga pendidikan menjadi gagap menghadapi realitas hidup setelah lulus.
Kekayaan pengetahuan memori dan kemampuan menalar teoretik belum cukup aplikatif jika seseorang tidak memiliki kepekaan psikologik dan kepekaan lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Di sini pengembangan aspek afektif menjadi sama pentingnya dengan pengembangan aspek kognitif anak didik. Aspek afektif ini, tidak hanya menyangkut perasaan tetapi, terlebih, juga menyangkut sense of alertness and readiness, sense of sosiability, dan sense of responsibility untuk senantiasa mengembangkan dan memperbaharui serta menerapkan kekayaan pengetahuan dan kemampuan berfikir kreatifnya dalam konteks kehidupan pribadi dan sosialnya.
Guna mendorong aplikasi pengetahuan dan kemampuan menalar dengan penuh rasa tanggung jawab dalam kehidupan faktual di lapangan, aspek psikomotor menjadi tidak kalah pentingnya dibanding dua aspek sebelumnya. Berkembangnya aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara integral, seimbang, dan optimal sesuai dengan tingkat perkembangan dan potensi anak inilah yang akan melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki greget integritas dan kemandirian bagi negeri ini.
Zaenal Faizin Alqudsiyy; Staf Pengajar pada Fakultas Tarbiyah, STAINU Temanggung.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.