Photobucket

Gallery STAINU Temanggung

    gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail
GURU SEBAGAI PENDIDIK, BUKAN POLISI ATAU HAKIM [1]
Oleh Zaenal Faizin [2]


Suatu ketika, sebuah Sekolah Dasar meminta pendapat Komite Sekolah menyangkut salah seorang murid yang dinilai sudah tak teratasi dan akan dikembalikan kepada orang tuanya, alias dikeluarkan. Sebagian anggota Komite menyatakan setuju, sementara yang lain ragu-ragu. Dalam bulan yang sama, seorang siswa sebuah SLTP bernasib lebih buruk, dipindahkan ke sekolah lain, alias dikeluarkan juga, karena dinilai sudah sangat keterlaluan dalam kenakalan dan pelanggaran di sekolah. Beberapa sekolah tidak bisa menerima siswa pindahan tersebut seolah sebagai virus, sebelum akhirnya diterima di sekolah tertentu.
Sementara itu, di banyak sekolah tidak sedikit siswa menghadapi persoalan psikologis akibat terlalu ketatnya peraturan sekolah yang diberlakukan berdasar kacamata pihak sekolah tanpa disertai pertimbangan yang cukup terhadap kacamata anak. Sebutlah cara berpakaian kurang rapi, atau gaya rambut gaul dalam kacamata anak (wilayah estetika), sementara oleh pihak sekolah dinilai urakan dan tidak sopan (wilayah Etika). Perbedaan kacamata ini pada akhirnya mengakibatkan munculnya konflik persepsi dan saling memasang stigma negatif antara guru dan siswanya. Akibat lanjutannya, muncul saling curiga dan bahkan dendam antara guru dan muridnya, suatu kondisi yang sangat kontradiktif dengan fungsi sekolah.
            Dalam kondisi sekolah mengalami beda kacamata dan konflik persepsi seperti ini, banyak guru berubah fungsi dari pendidik (yang bertugas membina dan memperbaiki dengan kelembutan hati dan kejernihan pikiran) menjadi seorang polisi (yang bertugas mencari dan menyidik kesalahan siswanya) untuk kemudian dilaporkan kepada wali kelas, waka kesiswaan dan/atau guru BP (yang juga berubah fungsi dari penasihat dan problem solver menjadi jaksa penuntut umum yang sangat fasih dengan pasal-pasal pelanggaran siswa). Kepala Sekolah pun kemudian berganti fungsi menjadi seorang hakim yang memvonis dan menghukum kesalahan siswa, dari sanksi ringan hingga pemecatan siswa. Sementara itu, guru yang melakukan kesalahan atau pelanggaran nyaris tidak pernah diberi sanksi apapun.

Hakekat Pendidikan dan Guru

            Ada dua teori mendasar tentang pendidikan. Teori pertama memandang pendidikan sebagai suatu proses transfer ilmu, budaya, dan nilai-nilai mendasar yang diyakini baik dan benar. Dalam proses transfer ini, guru kemudian bertindak sebagai pembimbing, pengarah, dan penanam ilmu dan nilai ke dalam diri anak didik.Dalam konteks ini, guru tidak hanya dituntut menguasai betul ilmu dan nilai-nilai yang akan ditanamkan ke dalam  diri anak (kompetensi profesional), tetapi juga dituntut memiliki kecermatan, kejelian, dan kelihaian dalam menyampaikan ilmu dan nilai-nilai tersebut (kompetensi metodologik), disertai kesabaran, ketekunan, dedikasi, dan jiwa restoratif melalui penyelaman mendalam terhadap kondisi psikologik dan sosiologis siswa (kompetensi sosial dan pedagogik). Penekanan utama dalam proses pembelajaran menurut teori ini adalah internalisasi, bukan pemaksaan dan penjejalan ilmu dan nilai, betapapun baik dan benarnya ilmu dan nilai tersebut.
            Teori kedua memandang pendidikan sebagai suatu proses liberasi (pembebasan) anak didik dari segala kendala dan belenggu yang menghambat perkembangan jiwa dan proses pembelajarannya, baik yang menyangkut persoalan psikologik-individual maupun psiko-sosial. Dalam konteks ini, guru dituntut memiliki kemampuan dan kebersediaan untuk menyelami jiwa dan perkembangan anak didiknya, dengan bertindak sebagai peneliti (bukan  penyelidik, apalagi penyidik) kendala dan sekaligus menjadi problem solver bagi persoalan yang dihadapi anak didiknya itu. Proses penyadaran jauh lebih penting ketimbang indoktrinasi, apalagi menghukum. Dalam rumusan paling sederhana, kalau ada anak yang bodoh dibantu menjadi pinter, kalau ada anak yang salah dibantu menjadi tidak salah, kalau ada anak yang jahat dibantu menjadi tidak jahat lagi, bukan dibenci dan dihukum.



[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Dosen bulan Juli 2006 dalam kaitannya dengan mata kuliah Filsafat Pendidikan
[2] Drs. Zaenal Faizin, Staf Pengajar dan Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, Jurusan Tarbiyah, STAINU Temanggung

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.