Photobucket

Gallery STAINU Temanggung

    gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail

AKAR PERPECAHAN PARPOL: PERSPEKTIF ETIK

AKAR PERPECAHAN PARPOL: PERSPEKTIF ETIK
Oleh : Zaenal Faizin Alqudsiyy



Seorang teman mengirim SMS, “Pak, ada nggak sih, cara berpolitik yang Islami?” sambil menyinggung perilaku dan proses politik di daerahnya selama dan setelah pemilu 2004 lalu yang lebih banyak diwarnai oleh pertarungan kepentingan ketimbang pertarungan ide guna membangun negeri ini. Ada empat teori etika yang bisa digunakan untuk mengerangkai proses dan perilaku politik, baik dalam Pemilu maupun dalam proses kenegaraan pada umumnya. Keempat teori etika tersebut adalah Ethical Egoism, Aristotelianism, Ghazalianism, dan Kantianism. Keempat teori ini sebetulnya murni teori etika, namun bisa diterapkan pada konteks politik dan perilaku politik.
Keempat teori ini pada dasarnya berbicara tentang baik dan buruk (good and bad conduct) dan tentang benar atau salah (right and wrong doing). Dua teori pertama mengukur baik atau buruk dan benar atau salah dari segi kepentingan dan manfaat sesuatu tindakan atau keadaan, sementara dua teori yang terakhir memandang baik dan buruk atau benar dan salah dari segi hakekat atau esensi tindakan atau perbuatan itu sendiri. Dalam kacamata ethical egoism, baik dan buruk atau benar dan salah diukur dengan seberapa besar sesuatu tindakan atau keadaan menguntungkan dan memberi manfaat bagi diri sendiri. Semakin besar manfaat suatu tindakan bagi diri sendiri maka semakin baik dan semakin benarlah tindakan atau perbuatan itu. Sebaliknya, semakin kecil manfaat sesuatu tindakan bagi kepentingan diri sendiri maka tindakan tersebut dikatakan semakin tidak baik dan tidak benar. Berbalikan dengan teori ini, Aristotelianism mengukur kebaikan dan keburukan atau benar dan salah dari segi seberapa besar manfaat dan keuntungan yang diberikan kepada sebanyak mungkin orang. Semakin besar manfaat yang diterima dan dinikmati oleh sebanyak mungkin orang, maka sesuatu tindakan itu dikatakan semakin benar dan baik. Menurut Aristotle, kebaikan tertinggi adalah kebaikan yang bisa dinikmati oleh sebagian terbesar penduduk suatu negara. Dengan kata lain, kebaikan tertinggi adalah perbuatan demi kepentingan dan kebaikan negara. Ini kemudian melahirkan apa yang disebut ethical altruism.
Berbeda dengan dua aliran di atas, menurut al-Ghazali dan Immanuel Kant, manfaat dan apalagi kepentingan tidak menentukan baik atau buruk dan benar atau salahnya sebuah tindakan atau perbuatan. Sesuatu perbuatan dikatakan baik atau benar, menurut kedua pemikir ini, adalah tergantung pada sifat dan hakekat perbuatan itu sendiri. Perbuatan baik, menurut al-Ghazali, adalah perbuatan yang jika dan setelah dilakukan hati pelakunya merasa tenang dan tentram dengan melakukan perbuatan itu, sebaliknya, perbuatan buruk adalah perbuatan yang jika dan setelah dilakukan hati pelakunya menjadi tidak tenang dan gelisah, “al-birru mâ itm’anna bihĩ qolbuk, wa al-sharru mâ hâka bihî nafsuk,” kata al-Ghazali. Sementara itu, menurut Immanuel Kant, suatu perbuatan dikatakan baik jika pada dasarnya dan pada hakekatnya perbuatan itu dalam dirinya sendiri (inheren) memang baik dan dilakukan karena perbuatan itu memang baik dan orang melakukannya karena ia senang melakukan yang baik. Suatu perbuatan yang pada dasarnya baik tetapi dilakukan karena kepentingan dan tujuan selain dari demi perbuatan baik itu sendiri, menurutnya, menjadi tidak baik dan kehilangan sisi kebaikannya. Rumusan Immanuel Kant ini, dalam rumusan al-Ghazali disebut ikhlas dan orangnya disebut mukhlis.

Eudomonisme Politik dan Politik Aktualisasi Kebaikan
Pertanyaan yang segera muncul adalah, “apakah mungkin melepaskan politik, terutama politik praktis, dari faktor kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun kelompok dan golongan?” Jawabnya bisa afirmatif dan bisa rejektif. Jawabnya akan rejektif jika orang memandang politik dan terutama partai politik sebagai tangga dan wahana untuk berbagi kue keberutungan. Sebaliknya, jawabnya akan bersifat afirmatif jika politik dan partai politik dipandang sebagai altar untuk mengaktualisasikan peran dan menyemai kebaikan. Dalam konteks etika, kebaikan yang diukur dengan sudut kepentingan dan manfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, lazim dikategorikan dalam ethical eudomonism. Proses dan perilaku politik yang diukur dengan kepentingan dan manfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi kebanyakan orang, bisa dikategorikan sebagai political eudomonism.
Kebanyakan orang masuk dunia politik, apalagi politik praktis, biasanya dikerangkai oleh prinsip ini, tetapi tidak sedikit pula yang masuk dunia politik karena ingin berbuat baik demi kebaikan itu sendiri. Kelompok kedua ini akan senantiasa mengerangkai kiprah dan perilaku politiknya dengan prinsip Aktualisasi Kebaikan. Artinya, program-program dan garis perjuangannya dalam berpolitik adalah demi menyemai kebaikan inheren. Mencerdaskan dan menyejahterakan kehidupan bangsa, membangun ekonomi kerakyatan, mempersubur demokrasi dan demokratisasi, bersikap egaliter dan menghargai sesama tidak semata dipandang dari segi manfaatnya bagi masyarakat dan negara (ethical altruism, Aristotelianism) tetapi karena semua itu memang mengandung kebaikan inheren (Kantianism-Ghazalianism).

Perpecahan Parpol
Perpecahan, baik antar maupun internal parpol, bisa dirunut pada filsafat etika dan filsafat politik yang dianut orang. Orang yang mengerangkai kiprah dan perilaku politiknya dengan ethical egoism dan political egoism akan sangat rentan terhadap konflik-kepentingan (vested-interest), sementara orang yang mengerangkai perilaku dan orientasi politiknya dengan etika Aristotelianism dan Kantianism-Ghazalianism mungkin terhindar dari konflik-kepentingan, tetapi tidak mustahil akan mengalami konflik gagasan dan keyakinan. Konflik tipe pertama akan melahirkan pola-pikir dan perilaku politik “yang penting aku dan kelompokku menang dan beruntung,” sementara konflik tipe kedua tidak mengukur keberhasilan politik dari menang atau kalah, beruntung atau tidak beruntung, tetapi “langkah dan kebijakan ini benar dan baik atau tidak?”
Konflik pertama kecil kemungkinannya untuk melahirkan proses retrospeksi dan falsifikasi-diri, sementara konflik kedua akan mengarahkan pelakunya pada proses retrospeksi dan falsifikasi-diri. Karena tidak ada retrospeksi dan faksifikasi-diri, maka konflik pertama bisa melahirkan sikap absolutis yang pada akhirnya melahirkan perpecahan antar maupun internal parpol. Sementara itu, karena ada porsi yang cukup besar untuk melakukan retrospeksi dan falsifikasi-diri, maka konflik kedua cenderung akan melahirkan sikap relativis yang mengarah pada proses penyadaran dan pembenahan diri sampai ditemukan ide dan kondisi yang benar-benar baik dan benar secara inheren dalam persoalan yang sedang menjadi titik konflik. Absolutisme sikap dalam berpolitik pada ujungnya akan membuat orang terjebak dalam perangkap pola hubungan in-group/out-group. Sebaliknya, relativisme dalam berpolitik akan membuat pelakunya masuk ke dalam pangkuan pola hubungan saling-toleran dan saling-memahami satu sama lain.
Aku dan Kau, dalam kerangka pemikiran kaum absolutis, akan menjadi Kami, sementara dalam kerangka pemikiran kaum relativis, akan menjadi Kita. Dalam pemikiran kaum absolutis, garis demarkasi antara Aku, Kau, Dia, Kami, Mereka adalah sangat tegas, sementara dalam pemikiran kaum relativis demarkasi tersebut menjadi sangat tipis karena semua lebur dalam lingkaran Kita. Dalam konteks ini, aku-diri, aku-fraksi, dan aku-parpol menjadi sangat penting bagi penganut absolutisme, sementara bagi penganut relativisme aku-diri, aku-fraksi, dan aku-parpol dipandang semakin bermakna jika kemudian melebur dan memanifes dalam kita-wakil-rakyat, kita-anggota-dewan, dan kita-abdi-negara.
Konflik dan perpecahan internal dan antar parpol, baik yang manifes maupun yang laten, pada pangkal dan ujungnya akan tetap bermuara pada teori etika yang dijalankan orang. Konflik dan perpecahan akan semakin menguat jika orang menjalankan teori ethical egoism dengan paradigma interaksi Aku-Kau dan Kami-Mereka. Sebaliknya, konflik dan perpecahan akan mengecil jika orang menerapkan teori Ethical Altruism-Aristotelianism dan Kantianism-Ghazalianism, dengan paradigma interaksi Kita.
***
Zaenal Faizin Alqudsiyy, Staf Pengajar dan Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah STAINU Temanggung;

2 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.