Photobucket

Gallery STAINU Temanggung

    gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail

SILANG-SENGKARUT FATWA MUI

SILANG-SENGKARUT FATWA MUI
Oleh: Zaenal Faizin Alqudsiyy



Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebuah lembaga keagamaan dengan anggota para ulama yang dibentuk oleh Presiden Soeharto semasa pemerintahan Orde Baru pada dasawarsa 80-an silam, hingga kini masih bertahan dan dipertahankan eksistensinya. Bahkan, belum lama ini, lembaga yang oleh sebagian segmen Muslim diasumsikan sebagai pemegang otoritas definitif tentang kebenaran dan ketidakbenaran sesuatu perbuatan dan keyakinan tentang persoalan-persoalan ke-Islaman di bumi Pancasila ini baru saja melakukan restrukturisasi rutin lima tahunan, dengan memosisikan kembali mbah Sahal (yang juga terpilih kembali sebagai Rois ‘Am PB NU) sebagai Ketua Umumnya. Ini menunjukkan bahwa, MUI, dengan segala plus dan minusnya, sebagai lembaga formal Ulama non-ormas dan non-orsospol tetap dibutuhkan atau, paling tidak, tidak dipermasalahkan keberadaannya. Sekitar dua dasawarsa MUI mengarungi peran dan fungsinya, sampai empat kali berganti presiden, nyaris tidak pernah terdengar rencana pembubaran lembaga ini. Gus Dur sendiri, yang terkenal sangat kritis terhadap langkah-langkah dan kebijakan MUI, juga tidak pernah terdengar punya niat membubarkannya, bahkan ketika tokoh yang disegani dan sekaligus disalahfahami oleh banyak pihak ini menjadi presiden RI sekalipun.
Bersamaan dengan terbentuknya kepengurusan baru ini, MUI mengeluarkan fatwa yang spektakuler dari segi jumlah, tidak tanggung-tanggung, sebelas butir fatwa, suatu langkah yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah MUI. Dari segi bidang dan lingkupnya, fatwa-fatwa kali inipun mengalami perkembangan, dengan tidak sekedar menyangkut persoalan ibadah dan perilaku, tetapi juga menyentuh persoalan keyakinan dan sosial-politik. Beberapa fatwa tersebut kemudian menimbulkan reaksi pro-kontra dari berbagai elemen dan organisasi ke-Islam-an, antara lain yan menyangkut Ahmadiyah, Pluralisme, Liberalisme, Sekularisme, dan do’a bersama. Beberapa tokoh Muslim pro-demokrasi, Islam kultural dan ilklusivisme Islam, dari Gus Dur hingga Dawam Rahardjo, Masdar Farid Mas’udi dan lain-lain, mengkritik fatwa-fatwa MUI tersebut dan menuntut MUI mencabutnya kembali. Kendati sempat mencabut pernyataannya dan meminta maaf secara terbuka, Ulil Abshor Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) juga mengecam keras fatwa-fatwa MUI tersebut. Dalam bahasa yang lebih halus, Gus Mus (salah seorang kyai kultural NU dan sastrawan-budayawan yang sangat disegani banyak kalangan) juga meminta fatwa-fatwa MUI tersebut ditinjau kembali karena dipandang tidak pas untuk konteks ke-Indonesia-an.
Sementara itu, di sisi lain, menanggapi kritik dan kecaman tersebut, kelompok-kelompok yang sering dikategorikan sebagai kelompok Islam fundamentalis dalam artian positif (bukan fundamentalis dalam pengertian yang dikembangkan oleh pemerintah Amerika), seperti MMI dan lain-lain, justeru mendukung dan siap mengamankan fatwa-fatwa MUI tersebut. Tantangan debat ilmiah terbuka pun dilontarkan kepada Gus Dur dan kawan-kawan. Bahkan, kecaman emotif dari beberapa tokoh MMI di daerah terhadap Gus Dur dilontarkan begitu keras sehingga menimbulkan reaksi tidak kalah emotifnya dari kelompok pembela Gus Dur, seperti terjadi di Jawa Timur yang siap ber-“jihad” melawan sesama Muslim. Silang-sengkarut soal fatwa MUI pun mengemuka di kalangan masyarakat Muslim.

Silang-Sengkarut Fatwa MUI
Kendati ada nuansa kepentingan politik penguasa pada awal pembentukannya, namun sejak awal perjalanannya, di bawah kepemimpinan pertama HAMKA, MUI mampu keluar dari tarikan kepentingan politik Orde Baru dan mendudukkan diri sebagai lembaga Ulama yang kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusannya memberi garis batas benar dan salahnya sesuatu tindakan dan perilaku Muslim, baik dalam kaitannya dengan pelaksanaan prinsip-prinsip Islam maupun dalam kaitannya dengan hubungan antar pemeluk agama yang sangat plural (ada lima agama yang diakui di negeri ini). Dari sudut pandang dan kepentingan masyarakat Muslim Indonesia, peran dan fungsi MUI sejak awal memang (diharapkan dan diasumsikan) berkisar pada persoalan putusan benar dan salah atau boleh dan tidak bolehnya sesuatu tindakan atau perbuatan tertentu. Dalam konteks ini, fatwa (yang kedudukannya lebih tinggi dari sekadar nasihat dan taushiyah) memang merupakan semacam keniscayaan bagi pribadi-pribadi dan kalangan Muslim tertentu, tetapi tidak demikian bagi pribadi-pribadi dan kalangan Muslim yang lain.
Sejak awal, kita tahu, MUI selalu bergerak di bidang fatwa dan fatwa. Fatwa monumental yang hingga sekarang tetap dipegang dan dihormati oleh semua umat Islam Indonesia adalah fatwa tentang perayaan Natal bersama yang dikeluarkan MUI semasa kepemimpinan HAMKA pada pertengahan dasawarsa 80-an. Fatwa ini mengharamkan umat Islam untuk mengikuti misa dan perayaan Natal bersama umat Kristiani karena dinilai bertentangan dengan nilai ke-Tauhid-an Islam. Lakum dînukum wa liya dîn tidak sekedar dimaknai sebagai toleransi antar umat beragama tetapi lebih dikaitkan dengan kemurnian aqidah dan keyakinan, dengan mengacu pada Qul huwa Allâhu ahad. Kalangan Kristiani pun tidak mempermasalahkan fatwa ini.
Fatwa MUI yang pertama kali menimbulkan kontroversi dan perdebatan cukup panjang adalah fatwa tentang hukum budidaya katak yang dikeluarkan MUI pasca kepemimpinan HAMKA. Fatwa ini menetapkan, budidaya katak untuk dikonsumsi sebagai makanan adalah haram, tetapi budidaya katak untuk kepentingan ekspor non-migas halal hukumnya. Fatwa ini menimbulkan kontroversi bukan saja karena menggunakan double-standard, tetapi juga cenderung membela dan seolah sekedar mengesahkan program penguasa pada saat itu. Fatwa-fatwa yang lain produk MUI paska fatwa tentang katak nyaris tidak pernah terdengar dibicarakan orang, apalagi sampai menimbulkan kontroversi, sampai muncul fatwa sebelas butir di masa pemerintahan SBY yang, konon, semenjak pencalonan dirinya mendapat dukungan luas dari para Ulama.
Persoalannya sekarang, mengapa fatwa MUI justeru menimbulkan silang-sengkarut di kalangan Muslim yang tidak terkena imbas langsung dari fatwa itu sendiri, sementara kalangan yang kena imbas langsung dan menjadi obyek fatwa tersebut cenderung tidak begitu reaktif? Variabel pertama yang layak mendapat perhatian adalah apa yang disebut “era keterbukaan dan peran media massa.” Di era keterbukaan dengan peran media massa yang sangat besar ini nyaris tidak ada persoalan dan peristiwa yang terlewat untuk tidak diberitakan. Intensitas dan frekuensi arus informasi melalui media massa menyangkut segala segi dan dimensi kehidupan manusia, baik pribadi maupun sosial, sangat tinggi. Akses terhadap berita, peristiwa, kebijakan, dan keputusan tentang apapun dari pihak manapun tidak perlu dicari berhari-hari, tetapi cukup dalam hitungan menit dan jam melalui koran dan TV. Demikian halnya dengan fatwa sebelas butir MUI di atas, begitu fatwa ditetapkan, tidak lama kemudian masyarakat mendapat akses tentang bunyi dan esensi fatwa tersebut.
Kalau MUI punya hak dan (mungkin) otoritas mengeluarkan fatwa, maka masyarakat juga punya hak untuk menyetujui atau menolak, atau paling tidak mengomentari fatwa tersebut. Ini adalah bagian dari proses demokrasi dan demokratisasi yang justeru ditekankan oleh Islam sendiri. Ayat lakum dînukum wa liya dîn atau ayat lain lanâ a’mâlunâ wa lakum a’mâlukum lazim dijadikan acuan dalam hal ini. Dalam konteks ini, MUI tidak perlu terganggu dengan kritik dan kecaman terhadap fatwanya, apalagi kemudian mengeluarkan reaksi balik secara berlebihan. Ikhtilâf al-ummah wa al-aimmah rahmah perlu kita pegang. Sebaliknya, para kritikus dan pengecam fatwa MUI juga perlu menghargai prinsip dasar ini. Gus Dur sendiri telah memberi contoh sikap ini dengan memaklumi dan memaafkan kecaman keras yang dilontarkan tokoh MMI di Surabaya dan meminta para pendukungnya memahaminya juga.
Variabel kedua sebagai penyebab munculnya silang-sengkarut ini adalah bidang dan materi fatwa itu sendiri, terutama yang menyangkut kesesatan Ahmadiyah, “haram”-nya Pluralisme, Liberalisme, Sekularisme, dan Do’a Bersama antar ummat beragama. Kelima bidang dan materi fatwa ini sangat peka. Soal Ahmadiyah, misalnya, kebetulan saja sebelumnya ada kejadian penyerbuan dan perusakan kantor Jama’ah Ahmadiyah di Jabar oleh beberapa kelompok Muslim, sehingga terkesan fatwa MUI mengesahkan tindakan kekerasan dan vandalisme keagamaan tersebut. Vonis dan stigma “sesat” bagi Ahmadiyah tidak hanya dalam fatwa MUI tersebut. Sebelumnya sudah banyak fatwa dan vonis yang sama, hanya tidak terekspose keluar sehingga tidak menimbulkan reaksi. Fatwa ini kemudian berkait erat dengan fatwa Pluralisme dan Liberalisme. Silang-sengkarut terjadi bukan pada tataran esensi tetapi pada definisi operasional yang digunakan. MUI mendefinisikan Pluralisme dan Liberalisme, kurang lebih, sebagai ajaran yang menyatakan semua agama sama baik dan sama benarnya dan karenanya semua orang boleh sesukanya memeluk dan berpindah agama manapun. Kalau definisi ini yang dimaksud, maka fatwa MUI tersebut bisa difahami tanpa emosi. Tapi kalau Liberalisme dan Pluralisme lebih difahami sebagai cerminan dari ayat Lakum dînukum wa liya dîn atau ayat lain lanâ a’mâlunâ wa lakum a’mâlukum di atas, apalagi dikaitkan dengan konteks ke-Indonesia-an, maka kritik Gus Dur dan kawan-kawan menjadi sangat relevan. Lagi-lagi, ikhtilâf al-ummah wa al-aimmah rahmah perlu dikedepankan. Jadi MUI tidak perlu meminta dan mendesak pemerintah melalui Mahkamah Agung untuk mengesahkan fatwanya, apalagi menggugat para pengkritiknya ke pengadilan. MMI dan kelompok-kelompok sepemahaman tidak perlu mengancam keselamatan Gus Dur dan kawan-kawan serta keselamatan penganut faham Ahmadiyah. Sebaliknya, kalangan pendukung Gus Dur, khususnya Satgas Garda Bangsa dan Pasukan Berani Mati juga tidak perlu mengancam balik keselamatan sahabat-sahabat dari MMI dan lain-lain. Wa al-‘afwu minkum lebih urgen diterapkan, sebagaimana dicontohkan Gus Dur terhadap ancaman MMI Surabaya, ketimbang semangat “jihad” yang belum tentu masuk kategori jihad yang sebenarnya.
Absolutisme etik, trust-claiming, dan intoleransi terhadap ragam pemahaman orang dan pihak lain sudah saatnya dihindari. Pro-kontra terhadap fatwa MUI adalah manifestasi perdebatan wacana dan tafsir yang tak perlu dibawa ke benturan perilaku dan tindakan fisikal, apalagi sampai melibatkan massa.

Zaenal Faizin; staf pengajar pada Fakultas tarbiyah, STAINU Temanggung.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.