Photobucket

Gallery STAINU Temanggung

    gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail

Mahkamah Potret Manusia Menghadapi Sakaratul Maut

Mahkamah Potret Manusia Menghadapi Sakaratul Maut
(Suatu Tinjauan Psikologi Kematian)
Oleh : M NUR ASIFUDIN




Manusia banyak mempunyai keinginan, karena keinginan manusia tidak pernah berakhir, maka ia enggan meninggalkan dunia ini. Walaupun manusia berkeinginan hidup seribu tahun lagi, tetapi, ia tak mampu menghindari kematian . Karena setiap yang bernyawa pasti mengalami kematian. (QS 3: 185).
Ada suatu peristiwa mengerikan menjelang kematian seseorang, yaitu sakaratul maut. Pada saat sakaratul maut manusia tak mungkin lagi berbohong karena dalam kondisi semacam itu yang berbicara bukan akal lagi, melainkan hati nurani. Bahkan dalam kondisi kritis muncullah bayang-bayang rekaman tingkah lakunya di masa lalu. Bayang-bayang itu merupakan “belahan gelap” dari interioritas yang tidak disadarinya. Bayang-bayang itu merupakan kutub lawan aku yang sadar.
Mahkamah merupakan drama yang mengungkapkan kehidupan manusia dalam kondisi menghadapi kematian. Saat maut akan menjemput sang Tokoh, dilukiskan bagaimana hati nurani manusia muncul dalam bayang-bayang sang Tokoh. Dalam kondisi seperti itu segala perbuatan dosa sekecil apa pun muncul di benaknya. Muncul dalam kondisi tak sadar sehingga alam pikiran sudah tak berfungsi lagi. Manusia tak mampu lagi membohongi dirinya sendiri.



Kata-kata kunci : kematian, sakaratul maut, hati nurani, interioritas.



Pendahuluan

Kematian merupakan sesuatu yang penuh misteri sehingga banyak tinjauan tentang kematian itu dari berbagai segi. Ada yang meninjau dari segi mistik, segi agama (religius). Tinjauan secara mistik dikaitkan dengan masalah-masalah takhayul, sedangkan tinjauan dari segi agama ada yang mengaitkan dengan masalah gaib. Lain pula tinjauan dari sisi ilmiah, kematian dijelaskan dengan penalaran ilmiah berdasarkan pengalaman manusia. Salah satu tinjauan ilmiah adalah tinjauan dari sisi psikologis.
Sebagai suatu ilmu pengetahuan empiris psikologi terikat pada pengalaman dunia. Psikologi tidak melihat kehidupan manusia setelah mati, melainkan mempelajari bagaimana sikap dan pandangan manusia terhadap masalah kematian, bagaimana jiwa manusia di saat-saat menjelang kematian (sakaratul maut).
Kepercayaan manusia terhadap kematian merupakan salah satu penggerak manusia beragama. Bahkan Durant mengatakan bahwa maut (kematian) adalah asal usul semua agama. Boleh jadi kalau tak ada maut, Tuhan tak akan wujud dalam benak manusia. Dua tokoh psikologi Freud dan Jung menyatakan bahwa ada hubungan erat antara kematian dan perilaku religius. Kematian yang tak terelakkan itu menginsafkan manusia dengan paling tajam akan ketidakberdayaan. Maut merupakan luka paling parah untuk narsisisme insani. Untuk menghadapi frustrasi terbesar ini, manusia bertindak religius.
Dalam makalah ini saya mencoba meneliti naskah drama berjudul Mahkamah karya Asrul Sani. Drama ini memotret kehidupan seseorang menjelang kematian. Bagaimana keadaan manusia menjelang kematian? Dalam kondisi seperti itu apa yang bakal muncul dalam bayang-bayangnya? Mampukah manusia mengelak atas segala perbuatan yang telah dilakukan? Mampukah akal manusia berbicara? Dan bagaimana peran hati nurani?

Riwayat Hidup Asrul Sani
Sebelum membahas drama berjudul Mahkamah karya Asrul Sani, terlebih dahulu akan dibicarkan sekelumit riwayat hidup pengarang. Sebab mengetahui riwayat hidup seorang pengarang sangat perlu untuk mengetahui latar belakang buah karyanya. Biasanya ciptaan sastra adalah rekaman dari perjalanan hidup pengarang yang menciptakannya. Sebagai manusia pengarang ia tak lepas dari latar belakang keluarga, masyarakat, pendidikan yang diperolehnya.
Sejarah sastra mencatat bahwa Asrul Sani termasuk tokoh Angkatan ‘45, seperti halnya Chairil Anwar. Bila Chairil Anwar telah dibicaraan dari berbagai sudut , agak mengherankan juga penyair, cerpenis, esais, penulis drama dan skenario Asrul Sani—yang menurut mutu dan jumlah ciptaannya termasuk tokoh penting dalam kesastraan Indonesia—tidak banyak dibicarakan. Hal itulah yang merangsang penulis untuk mengorek salah satu karya Asrul Sani yang berbentuk drama.
Asrul Sani lahir pada 10 Juni 1927 di Rao, Sumatra Barat. Waktu kecilnya ia sangat menyukai masalah teknik, dan sering disugui cerita-cerita oleh ibunya dan tak jarang pula ayahnya memanggil tukang kaba yang sering berkeliling untuk menjajakan ceritanya ke rumah mereka (Hutagalung, 1967: 20). Boleh jadi latar belakang keluarga seperti itulah yang membentuknya menjadi tokoh dalam dunia sastra. Pada masa kecil ia tak puas dengan model pendidikan agama Islam yang diperolehnya. Ia merasa bosan dan timbullah perlawanan di dalam hatinya hendak mengingkari ajaran-ajaran guru-guru agama tersebut (Intisari, 7 September 1953). Waktu pengingkaran itulah katanya masa suburnya ia menulis sajak-sajak. Dan ia terus mencari hakikat dari kehidupan. Sejak umur 13 tahun ia sudah merantau ke Jakarta.
Asrul Sani adalah seorang seniman yang tak segan-segan belajar. Ia pernah belajar musik pada Cornel Simandjuntak. Pada tahun 1956 ia belajar Dramaturgy dan Cinematography pada Universitas Of Southern California di Los Angeles. Tahun 1954 ia ke Harvard Universty, AS, mengikuti Seminar Internasional tentang kebudayaan. Kira-kira dua tahun ia di Eropa Barat membantu Sticusa dan Penclub. Setelah kembali dari luar negri ia membantu Perfini dan Persari. Memang Asrul Sani lebih terkenal sebagai tokoh dalam bidang film dan drama dibandingkan sebagai cerpenis, maupun penyair. Pada tahun 1963 Indonesia mendapat kehormatan dengan dipilihnya Asru Sani sebagai seorang juri festival film Internasional di Moskow.
Jumlah karya yang telah berhasil ia tulis adalah 3 drama, penerjemah 90 naskah drama, penerjemah 10 novel, penulis cerita, skenario dan sutradara 63 film, penulis cerita dan skenario 22 sinetron televisi, sutradara 6 drama panggung. Penghargaan yang diperoleh 15 penghargaan dari berbagai pihak, dalam dan luar negeri., termasuk 8 piala citra, dan Bintang Mahaputra Utama, Agustus 2000. Menjelang wafatnya, 11 Januari 2004, Asrul sedang menulis naskah pidato penerimaan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia, di bidang sastra.

Mahkamah drama berseting sakaratul maut
Mahkamah merupakan sebuah drama yang menceritakan sekelumit perjalanan hidup tokoh Saiful Bahhri di saat sakaratul maut. Dalam kondisi sakit—yang menurut perkiraan dokter sulit disembuhkan—terungkap siapa sebenarnya Bahri itu, perbuatan apa saja yang pernah dilakukannya semasa hidup. Ia termasuk tokoh ideal, pejuang yang tak kenal menyerah. Secara kasat mata hampir tak ada orang yang mengatakan bahwa Bahri adalah manusia yang tak sempurna. Jiwa perjuangan masih tetap saja ia lakukan di masa kemerdekaan. Ia adalah ketua Koperasi untuk mantan pejuang-pejuang. Koperasi berkiprah di bidang sosial. Betujuan menyantuni mantan pejuang-pejuang revolusi. Ia termasuk tipe manusia sederhana sehingga sampai menjelang akhir hayatnya pun belum punya rumah. Keluarganya menempati rumah dinas.
Menjelang kematiannya, muncullah rekaman perjalanan hidup dirinya. Ada satu noda hitam yang mengiang-ngiang di saat sakaratul maut. Noda hitam itu adalah keputusan Bahri saat menjadi komandan di zaman perang. Saat dia menjadi komandan batalyon dengan pangkat mayor. Ia memutuskan untuk menembak mati bawahannya yang kebetulan juga sahabat karib yang bernama Kapten Anwar. Di satu sisi keputusan itu dianggap sebagai suatu tindakan heroik, di sisi lain keputusan itu merupakan tindakan khianat.
Pada saat sakaratul maut, muncullah dua tokoh, yaitu Citra I dan Citra II. Kedua tokoh Citra itu tak dapat ditangkap oleh indra orang biasa, tetapi hanya dapat dilihat oleh Bahri. Citra I merupakan pembela Bahri yang berpendapat bahwa Mayor Bahri memutuskan penembakan atas bawahanya, Kapten Anwar sebagai tindakan yang heroik. Atas tindakan yang tegas itu ia pantas menyandang predikat pahlawan. Sebaliknya Citra II merupakan penuduh Bahri yang berpendapat bahwa keputusan penembakan atas diri Anwar merupakan perbuatan demi kepentingan pribadi Bahri. Bahri melakukan itu demi mendapatkan gadis yang sangat ia cintai bernama Murni. Sebab tanpa menghabisi nyawa Kapten Anwar mustahil ia bisa mendapatkan Murni.
Perdebatan antara kedua tokoh Citra itu tak membuah hasil, maka perlu dibentuk sebuah mahkamah luar biasa, yang bertugas mengusut perkara yang luput dari jangkauan pengadilan biasa. Hakimnya pun bukanlah ahli hukum karena yang menjadi persoalan dalam sidang adalah masalah benar salah diukur menurut hati nurani terdakwa. Maka dipilihlah hakim yang terdiri dari orang-orang yang telah membentuk pengertian baik dan buruk dalam diri tertuduh (Mayor Saiful Bahri), yaitu guru agama, guru, dan seorang pemikir.
Pengadilan dimulai, perdebatan antara penuntut umum dengan pembela berlangsung sengit. Masing-masing mempertahankan alasan-alasan yang sangat logis dan cerdas. Saksi-saksi yang terdiri atas Kapten Anwar, Murni, dan Somad dihadirkan untuk menguji kebenaran. Akan tetapi, lagi-lagi hakim tak mampu memutuskan apakah tuduhan penuntut umum itu benar. Akhirnya keputusan terakhir dikembalikan pada hakim tertinggi manusia yaitu hati nurani Bahri itu sendiri.


Menyibak Tragedi Kematian secara Psikologis
Memang ada perbedaan bidang kajian antara psikolog sebagai ilmu empiris dengan agama sebagai suatu kepercayaan. Agama menyangkut Allah atau lebih umum “Nan Illahi”, artinya segala sesuatu yang bersifat Allah atau dewa. Sebaliknya psikologi menyangkut manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu, psikologi tidak mengeluarkan satu pernyataan pun tentang Allah. Bahkan adanya Allah tidak bisa di-ya-kan atau disangkal, sebab sebagai suatu ilmu pengetahuan empiris psikologi terikat pada pengalaman dunia ini. Objek psikologi bukan Allah melainkan manusia, yakni manusia yang beragama. Dunia ilmu pengetahuan (psikologi) berdasarkan pengalaman dan dunia kerohanian (agama) berdasarkan keimanan.
Psikologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang melihat kematian sebagai suatu peristiwa dahsyat yang sesungguhnya sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Ada segolongan orang yang memandang kematian sebagai sebuah malapetaka. Namun ada pandangan yang sebaliknya bahwa hidup di dunia hanya sementara, dan ada kehidupan lain yang lebih mulia kelak, yaitu kehidupan di akhirat. Pandangan tersebut melahirkan dua mazhab psikologi kematian. Pertama, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin adanya kehidupan setelah mati. Kedua mazhab religius, yaitu yang memandang bahwa keabadian setelah mati itu ada. Kehidupan di dunia perlu dinikmati, tetapi bukan tujuan akhir dari kehidupan. Apa saja yang dilakukan di dunia dimaksudkan untuk investasi kejayaan di akhirat.
Dua tokoh psikologi Freud dan Jung menyatakan bahwa ada hubungan erat antara kematian dan perilaku religius. Kematian yang tak terelakkan itu menginsafkan manusia dengan paling tajam akan ketidakberdayaan. Maut merupakan luka paling parah untuk narsisisme insani. Untuk menghadapi frustrasi terbesar ini, manusia bertindak religius (Dister, 1982: 105) Bahkan Durant menegaskan bahwa maut adalah asal usul semua agama. “Boleh jadi kalau tak ada maut, Tuhan tidak akan wujud dalam benak kita.” (Shihab dalam Hidayat, 2006: viii). Masalah kematian sangat menggusarkan manusia. Mitos, filsafat juga ilmu pengetahuan tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Hanya agama yang dapat berperan dalam hal ini.
Bagaimana Asrul Sani memotret kematian dari sisi psikologis ? Jawabanya dapat kita nikmati lewat drama berjudul Mahkamah. Ternyata latar belakang kehidupan Asrul yang religius berpengaruh dalam karya-karyanya. Bahkan beliau pernah menjabat sdebagai anggota DPR, Wakil PPP dari Nahdlatul Ulama (NU). Sejak kecil dia tidak puas dengan model pengajaran agama seperti yang disampaikan guru-gurunya. Wajarlah bahwa Ia ingin menyampaikan ajaran agama lewat cara lain yaitu lewat keindahan seni yang rasional . Bukankah Islam merupakan agama yang mengajarkan sesuatu secara rasional. Hanya masalah gaib saja dalam Islam yang tak bisa dijelaskan secara rasionalis. Maka Asrul Sani dengan kecerdasannya mengungkap misteri kematian dari sisi psikologis. Tidak secara dogmatis yang mengarah misterius bahkan antilogika seperti yang banyak disampaikan oleh para ulama atau lewat sinetron-sinetron berlabel rahasia Illahi yang saat ini marak ditayangkan di televisi. Lewat naskah drama Mahkamah Asrul melukiskan peristiwa yang tersembunyi dalam batin manusia, gejolak perasaannya, pikirannya, maupun keinginan-keinginannya. Asrul hanya melukiskan sepenggal kisah manusia bereligius menjelang kematian yang hanya tinggal beberapa jam saja.
Kematian adalah suatu keniscayaan. Tak ada seorang pun yang luput dari kematian. Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian (QS 3: 185). Meskipun kematian pasti menimpa setiap orang, banyak manusia yang enggan membicarakan masalah kematian. Bahkan kemauan manusia ingin hidup seribu tahun lagi seperti yang diungkapkan Chairil Anwar. Harapan hidup kekal itu antara lain disebabkan manusia mempunyai banyak keinginan, karena keinginan manusia tidak pernah berakhir akibatnya ia enggan untuk meninggalkan dunia ini.
Tokoh Bahri, dalam drama berjudul Mahkamah menyadari betul bahwa kematian pasti akan menimpa setiap orang, akan tetapi sebagai manusia ia pun enggan meninggalkan dunia ini walaupun fisiknya sudah parah karena digerogoti penyakit.
Bahri : Syukurlah. Aku ingin melihat anak kita semuanya jadi orang sebelum aku mati.
Murni : Kakak jangan bicara tentang mati.
Bahri : Kenapa tidak? Semenjak kita lahir, kematian sudah merupakan bagian dari kehidupan kita. Cuma kita selalu berusaha melupakannya ...
(Sani, 1988: 11-12)

Bahri membuka matanya.
Citra II : Kami datang untuk menjemput Saudara.
Bahri : Sekarang? Tidak, tidak bisa. Saya belum bisa pergi. saya belum siap.
Citra II : Kapan Saudara siap?
Bahri : Saya perlu waktu. Masih banyak yang harus saya benahi dulu.
Citra II : Saudara sudah diberi waktu hampir lima puluh tahun.
Bahri : Saya memerlukan waktu lebih banyak.
Citra II : Berapa banyak Saudara Bahri. Kami akan menunggu. Saudara diberi waktu beberapa jam lagi.
(Sani, 1988: 32)

Bahri : Kalau begitu saya bisa mengharapkan pengertian. Saya memerlukan perpanjangan waktu. Begitu banyak yang masih harus saya benahi. Anak saya masih kuliah dan masih belum bisa berdiri sendiri. Yang satu malah masih dalam kandungan. Keluarga saya memerlukan atap. Tapi rumah pun saya belum punya. Rumah ini milik instansi. Dan kalau saudara betul tahu apa yang terjadi dengan diri saya, Saudara tentu tahu bahwa wakil saya Majid lagi bersiap-siap untuk menghancurkan semua yang selama ini telah saya bangun. Jika dia berhasil maka berarti saya tidak meninggalkan apa-apa. Jasa saya akan hilang dengan satu coretan tanda tangannya. Seluruh hidup saya tiba-tiba akan menjadi tidak berarti.
Citra I : Memang! Alangkah rapuhnya perbuatan manusia
Bahri : Ya, tapi bagaimana juga, wajar sekali jika seseorang ingin meninggalkan nama
(Sani, 1988: 37 – 38)

Hidayat (2006: 112) pernah menyebarkan angket yang berisi mengapa orang enggan meninggalkan dunia. Dari jawaban yang masuk, ternyata jawaban yang dominan bukannya karena takut neraka, tetapi merasa berat berpisah dari dunia. Bayangan anak-anak dan teman dekat serta rumah tinggal yang telah dinikmati selama ini sungguh merupakan daya pikat dan daya ikat yang begitu kuat sehingga kehidupan ini tetap lebih menarik ketimbang dunia akhirat yang belum pernah dialami.
Secara psikologis wajarlah Bahri belum rela jika kematian menjemputnya. Ia takut meninggalkan anak-anak, khawatir usaha yang dibangunnya selama bertahun-tahun dihancurkan Majid, takut kelak dia tidak meninggalkan tinta emas, baik pada anak-anaknya maupun masyarakat. Ia ingin meninggalkan nama harum. Dalam hidup ini tak ada orang yang tidak takut kehilangan. Bawah sadar seseorang yang menyimpan rangkaian kenangan pahit masa lalu menuntut kompensasi dan subsitusi. Bagi sementara orang, kompensasi itu diproyeksikan dalam limpahan materi, jabatan, kekuasaaan, dan popularitas. Ketika semuanya telah berada di tangan, terdapat kekuatan bawah sadar yang memberikan dorongan untuk memeluknya erat-erat karena kenangan pahit masa lalu yang tidak lagi disadari akibat kehilangan objek yang dicintai (Hidayat, 2006: 124-125).

Hati Nurani sebagai Hakim Tertinggi Manusia.
Konflik yang mendominasi drama Mahkamah justru terjadi pada saat tokoh utama dalam kondisi sakaratul maut, yaitu semacam hilangnya kesadaran yang kemudian diikuti oleh lepasnya ruh dari jasad. Pada detik-detik itu manusia akan merasakan pentingnya amal baik dan bahayanya amal buruk. Manusia sangat menderita karena berpisah dengan keluarganya, anak-anaknya, dan segala yang dicintainya. Dalam kondisi demikian rekaman kejadian gelap masa lalu muncul. Dosa-dosa akan menari-nari dalam bayang-bayang manusia. Bayang-bayang ini merupakan bagian dari totalitas kepribadian manusia, yaitu merupakan “belahan gelap” dari interioritas yang tidak disadarinya. Bayang-bayang ini merupakan kutub lawan dari aku yang sadar. Aku merupakan inti kesadaran, sedang bayang-bayang merupakan inti ketidaksadaran (Kartono, 1990: 146). Manusia sudah tak mampu lagi berbohong karena di situ yang berbicara bukan akal lagi, tetapi hati nurani.
Hati nurani berfungsi sebagai pengemudi dan hakim terhadap segenap tingkah laku dan pikiran manusia. Hati nurani berfungsi sebagai pengontrol yang kritis hingga manusia selalu diperingatkan untuk bergerak dalam batas-batas tertentu yang tidak boleh dilanggarnya, dan mematuhi konvensi atau persetujuan bersama. Hati nurani sifatnya otonom, murni, kreatif, dan selalu benar.
Hati nurani atau hati sanubari juga menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap segenap tingkah laku, dan berani menanggung segala risiko perbuatannya. Ia berani mengakui salah jika dirinya ada di pihak yang tidak benar, lalu berani minta maaf. Dengan begitu, hati nurani menjadi instansi yang menentukan norma sebagai tolok ukur baik dan benar. Karena hati nurani orang akan bertindak sesuai dengan norma kebenaran. Sebab menantang hati nurani akan mengakibatkan terpecahnya kepribadian. Lalu muncul banyak konflik batin dan ketegangan.
Menikmati drama Mahkamah, kita semakin paham kualitas Asrul Sani dalam berdebat. Benar apa yang dikatakan Taufiq Ismail (Horizon, 2004: 6) “Belakangan saya baru tahu bahwa tidak tercatat ada orang yang bisa mengalahkan Asrul Sani berdebat”. Saya dibuat terbuai menikmati perdebatan antara tokoh Penuntut Umum dengan tokoh Pembela ketika mengadili Bahri dalam perkara penembakan atas Kapten Anwar. Kedua tokoh tersebut berdebat secara sistematik, tenang, bahasa jernih, cerdas dan dengan alasan logis disertai fakta-fakta yang meyakinkan. Perdebatan sengit itu berkaitan dengan masalah penembakan atas Kapten Anwar berdasarkan perintah Mayor Bahri.
Penuntut Umum menuduh bahwa penembakan itu dilakukan demi kepentingan pribadi Kapten Bahri dan berlatar belakang cinta segitiga. Sebab tanpa membunuh Kapten Anwar mustahil Bahri bisa memiliki Murni, pacar Kapten Anwar. Atas tindakan itu Bahri layak diberi predikat pengkhianat. Sebaliknya pengakuan Mayor Bahri yang juga dikuatkan oleh Pembela mengatakan bahwa hukuman itu dilakukan berdasarkan kewajiban. Bukan demi kepentingan pribadi. Bukan karena wanita. Buktinya Kapten Anwar menolak menjalankan perintah yang dalam keadaan itu berarti desersi yang menuntut tindakan tegas. Maka layak Bahri diberi predikat pahlawan. Perdebatan itu berlangsung seru dengan masing-masing menghadirkan saksi-saksi dan bukti-bukti untuk menguatkan pendapatnya. Akan tetapi, perdebatan itu tak mampu menghasilkan kebenaran sejati. Apakah Bahri sebagai pengkhianat atau pahlawan. Karena tak menemukan kesimpulan yang benar, maka pengadilan terakhir diserahkan kepada pengadilan tertinggi yaitu, hati sanubari Bahri itu sendiri.
Pembela : ... Dengan kata ini diakuilah keterbatasan kita untuk melakukan penilaian. Satu-satunya, Majelis Hakim Yang Mulia yang dapat menghakimi ialah pelaku perbuatan itu sendiri. Jadi saudara Saiful Bahri harus menghakimi perbuatan Saiful Bahri. Tapi, ini hanya akan terjadi, jika hati sanubari orang tersebut masih berfungsi sebagaimana mestinya—jika suara hatinya masih bisa membedakan yang benar dan yang salah. Yang terbukti dalam Mahkamah ini tidak apa-apa, kecuali bahwa Saudara Saiful Bahri yang sekarang ini dihadapakan sebagai tertuduh,seorang yang jujur, tidak berusaha untuk menyembunyikan kebenaran, biar apa pun risikonya, rendah hati, percaya pada Tuhan dan seorang yang memikul tanggung jawab penuh atas semua perbuatannya. Oleh karena itu, pada tempatnya, jika keputusan pengadilan ini dikembalikan pada hati sanubarinya. Hak untuk menjadi hakim bagi dirinya sendiri ialah hak manusia—dan merupakan bagian dari martabat yang dianugerahkan Tuhan padanya. Terima kasih.
(Sani, 1988: 77-78)

Sebenarnya secara kasat mata bahwa tak ada alasan bagi Saiful Bahri untuk takut dan gelisah secara berlebihan. Sebab tokoh ini merupakan tokoh yang nyaris sempurna. Ia merupakan manusia berwatak putih dan idealis. Di masa perjuangan ia merupakan tokoh yang sangat berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bahkan pada tahun 1948 ia berpangkat mayor dan menjabat komandan regu batalyon yang menumpas pemberontakan Madiun. Di masa pembangunan ini jiwa perjuangannya masih tetap menggelora. Ia memimpin sebuah koperasi yang bergerak di bidang sosial, bertujuan untuk menyantuni bekas pejuang kemerdekaan. Hidupnya pun sangat sederhana sampai-sampai di usia 50 tahun—menjelang kematiannya—dia tidak memiliki rumah. Akan tetapi, mengapa dalam menghadapi sakaratul maut itu ia tampak takut dan gelisah.
Orang yang merasakan takut dan gelisah adalah manusiawi. Artinya persaaan tersebut dapat menyerang siapa saja, dari golongan apa saja, baik orang yang beragama maupun yang tak beragama. Dalam hal ini ketakutan dapat dibedakan dua macam, yaitu ketakutan yang ada objeknya, seperti takut pada binatang buas, dan ketakutan tak ada objeknya seperti perasaan takut, takut begitu saja, cemas hati. Orang memang takut, tetapi tidak tahu dengan jelas apa yang ia takutkan. Atau sekurang-kurangnya ia takut terhadap sesuatu yang abstrak. Ketakutan tanpa objek ini lebih membingungkan manusia daripada ketakutan yang berobjek. Sebab kalau ada objek, maka rasa takut dapat diatasi dengan memerangi atau memberantas objek yang menakutkan itu. Akan tetapi kalau tak ada objek, bagaimana mungkin memeranginya? Bagaimana memerangi sesuatu yang abstrak seperti memerangi ketakutan atas tingkah polahnya sendiri. Karena ketakutan tanpa objek (eksistensial) sendiri hampir tak mungkin diteliti secara postif-empiris. Artinya sulit diobservasi, diukur karena ketakutan tersebut biasanya tersembunyi dalam gejala-gejala lain yang merupakan manifesasi terselubung dari ketakutan.
Sebenarnya, orang yang saleh seharusnya tak perlu takut terhadap kematian. Dalam sebuah riwayat disebutkan , orang yang saleh memperoleh husnul khatimah (akhir yang baik) adalah mereka yang hati dan bibirnya selalu berzikir mengingat Allah ketika sakaratul maut sampai datangnya malaikat Izrail menjemput ruhnya. Tanda-tanda lain adalah wajahnya tampak tenang, bagaikan seseorang tertidur, tidak menunjukkan rasa takut dan tertekan (Hidayat, 2006: 134). Tetapi mengapa orang sebaik Bahri masih muncul perasaan takut dan gelisah. Ya, karena manusia memiliki kelemahan. Kelemahan yang paling nyata adalah bahwa manusia tidak memiliki kemampuan memastikan sesuatu yang akan terjadi. Terhadap sesuatu yang belum terjadi, paling-paling manusia hanya dapat memperkirakan. Padahal perkiraaan itu belum tentu tepat. Perkiraan-perkiraan yang bakal terjadi di dunia saja belum tentu bisa dipastikan terjadi walaupun telah diperhitungkan secara teliti dan ilmiah, apalagi perkiraan yang bakal terjadi di akhirat kelak. Sungguh sangat tidak pasti. Boleh jadi seseorang menganggap dirinya beriman, telah melakukan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangnya dan tekun beribadah. Akan tetapi di mata Tuhan apakah harapannya sesuai dengan harapan Tuhan. Apakah orang itu termasuk beriman? Wallahu a’lam bi-sawab. Semuanya menjadi sesuatu yang tidak pasti. Karena perbuatan manusia bernilai ibadah itu ada syarat-syaratnya. Syarat itu antara lain hatinya harus bersih dan benar-benar ikhlas. Tanpa sedikit pun pamrih. Sementara ikhlas itu tidak mudah dilakukan orang. Nah, ketidakpastian itulah yang membuat Bahri takut dan gelisah. Ditambah lagi adanya noda hitam masa lalu yang menghantui perjalanan hidup Bahri, yaitu perintah menembak Mayor Anwar.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa drama ini mampu membuka wawasan kita sebagai makhluk bergama. Ternyata hanya amal perbuatan manusia saja yang mampu menemani kita di saat-saat menghadapi sakaratul maut. Seperti pada akhir dialog dalam drama Mahkamah terjadi monolog interior tokoh Bahri , “Ikhlaskanlah segalanya. Yang bisa Saudara bawa hanya amal ibadah Saudara.” (Sani, 1988: 81). Pada akhir perjalanan hidup manusia tidak satupun yang dapat menemani. Semua tak akan bisa membantu kita, kecuali amal soleh kita. Amal baik membuat hati nurani kita tenang, damai, di saat-saat menjelang kematian.


DAFTAR PUSTAKA
Dister, Nico Syukur. 1982. Pengalaman dan Motivasi Beragama. Jakarta: Leppenas.
Hidayat, Komaruddin. 2006. Psikologi Kematian. Bandung: Mizan.
Hutagalung, M.S. 1967. Tanggapan Dunia Asrul Sani. Djakarta: Gunung Agung.
Ismail, Taufiq. 2004. “Puisi Anak Laut Asrul Sani (1927 – 2004)” Dalam Horizon XXXVIII/3/2004. Jakarta.
Kartono, Kartini. 1990. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju.
Rakhmat. Jalaluddin. 1996, Meraih Cinta Ilahi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sani, Asrul. 1988. Mahkamah. Jakarta: PT Pustaka Karya Grafika Utama.
Shihab, M. Quraish. 1995. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan.

_____. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung. Mizan.

Suharianto. 1987. Menuju Manusia Berbudaya. Semarang: Pasca Usaha.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.