Photobucket

Gallery STAINU Temanggung

    gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail gallery thumbnail

MEMBANGUN SOSOK GENERASI CERDAS

MEMBANGUN SOSOK GENERASI CERDAS
Oleh; Zaenal Faizin



Pendahuluan
Korupsi merebak di mana-mana, dari kalangan birokrasi paling atas hingga paling bawah, dari lembaga pemerintahan hingga lembaga non-pemerintahan, dari organisasi formal hingga kelompok-kelompok non-formal. Penanganan korupsi masih tersendat dan terkesan pilih-pilih. Mafia peradilan masih nyaring dikeluhkan banyak kalangan. Kolusi dan nepotisme pun tidak sirna pula di era reformasi ini. Pungli dan penipuan masih meraja lela, mafia penerimaan PNS masih bergentayangan, dengan mengatasnamakan diri punya channel, koneksi, dengan pejabat penentu kebijakan. Masyarakat pun masih punya asumsi, sekarang untuk menjadi PNS tidak mungkin bisa kalau tidak pakai uang sogokan, kendati dalam kenyataannya banyak yang mengaku tidak pakai uang pelicin sepeserpun. Rebutan posisi dan keberuntungan hampir terjadi di segala lini, tidak jarang dengan menggunakan cara-cara penuh muslihat dan kelicikan, kalau perlu melalui pembunuhan karakter orang yang dipandang sebagai lawan atau pesaingnya.
Di sisi lain, orang lebih banyak mengukur kebenaran dan kebaikan berdasarkan sudut kepentingan diri sendiri dan kelompok sendiri. Egoisme moral hampir merasuki semua kalangan. Dalam konteks pembangunan bangsa, orang cenderung memilih sikap tergantung pada negara dan bukan menjadi tempat bergantungnya nasib negara. Orang lebih memilih mencari keuntungan dari negara ketimbang memberi keuntungan bagi negara. Orang lebih banyak menuntut upah ketimbang memberi jasa. Konflik internal parpol pun, dalam banyak hal, bermuara pada orientasi ini. Orang seolah lupa, “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,” “memberi lebih baik daripada menerima, apalagi meminta.”
Hal lain yang layak mendapat perhatian adalah bahwa, dalam banyak hal, orang cenderung menggunakan logika arus-pendek, dengan lebih mengedepankan emosi ketimbang nalar. Sejalan dengan itu, orang makin pintar membalut dan menyembunyikan kepentingan sesaat yang bersifat egosentris dengan jargon-jargon “demi menegakkan kebenaran dan keadilan, demi kepentingan bangsa dan negara” yang lebih banyak bersifat lip-sevice ketimbang faktual-empiris.
Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa semua ini bisa terjadi? Apakah ini merupakan sebuah kecelakaan yang tidak disengaja atau akibat pengaruh faktor eksternal, ataukah justeru merupakan hasil didikan budaya dan produk dari pendidikan selama ini? Kalau semua ini merupakan hasil didikan budaya dan produk langsung dari proses pendidikan selama ini, lantas di mana letak kesalahan dan melesetnya dunia pendidikan kita. Salah satu sebabnya adalah bahwa selama puluhan tahu terakhir dunia pendidikan kita lebih banyak terkonsentrasi pada upaya pembentukan tenaga-tenaga mesin yang cenderung berwatak mekanistik-robotik ketimbang mencetak para pakar dan pemikir yang memiliki nalar kreatif-konstruktif. Pendeknya, dunia pendidikan kita lebih berorientasi membentuk tukang-tukang yang menunggu diberi pekerjaan dan upah ketimbang membentuk sosok manusia berkepribadian kuat dengan kemandirian diri yang handal.
Lantas, bagaimana mengatasi semua itu ? Ada berbagai faktor yang layak mendapat perhatian serius bagi pihak guru dan pengelola lembaga pendidikan, dari tujuan dan worldview penyelenggaraan proses pendidikan, kurikulum dan profesionalisme guru, sampai pendekatan pembelajaran dan sistem evaluasi yang digunakan.

Tujuan dan Worldview Pendidikan
Persoalan mendasar pertama yang layak mendapat perhatian serius adalah tujuan dan worldview para praktisi dan pengelola lembaga pendidikan. Tujuan dan worldview pendidikan ini biasanya tercermin dan terumuskan dalam bentuk visi dan misi lembaga pendidikan yang bersangkutan. Kebanyakan lembaga pendidikan, terutama yang didirikan dan dikelola oleh pihak swasta tertentu, tidak begitu memperhatikan pentingnya faktor ini. Jangankan para guru dan staf administrasi, bahkan pengurus yayasan dan para pendirinya pun tidak jarang yang tidak faham betul apa visi dan misi lembaga pendidikan yang didirikan dan dikelolanya.
Visi dan misi lembaga pendidikan menduduki posisi penting pertama karena faktor inilah yang akan menentukan sosok manusia macam apa yang akan dihasilkan oleh lembaga pendidikan setelah siswa lulus. Bagaimana mungkin sosok yang ingin dibentuk bisa tercapai kalau pengelola dan para gurunya tidak faham sosok apa yang akan dibentuk melalui proses pendidikan yang ditanganinya. Visi dan misi lembaga pendidikan juga penting disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada setiap siswa karena akan menjadi semacam obor-pengarah yang harus diikuti dan dikejar oleh anak didik. Bagaimana mungkin para siswa mau mengejar obor-pengarah itu kalau dia sendiri tidak mengetahui dan memahaminya.
Kebanyakan sekolah hanya mengadopsi dan bahkan mengutip tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang atau GBHN dengan rumusan abstrak “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan “membentuk manusia seutuhnya” tanpa disertai rumusan dan pemahaman operasional tentangnya. “Mencerdaskan kehidupan bangsa” umumnya hanya difahami sebatas memberi pengetahuan (belum sampai tataran ilmu) sebanyak-banyaknya, dengan tanpa penekanan pada kedalaman dan rasionalisasi serta asosiasi masing-masing pengetahuan tersebut. Artinya, pengetahuan yang diberikan kepada anak didik adalah sekedar data final yang lebih banyak menjadi konsumsi memory ketimbang dimensi analisis anak didik. Dalam perkataan lain, arah dan sasaran utama proses pendidikan lebih banyak ditekankan pada pengembangan daya hafal dan daya ingat ketimbang kemampuan berfikir dan menalar anak didik. Pengertian “manusia seutuhnya” pun lebih banyak difahami sebagai definisi normatif yang bersifat slogan ketimbang program aksi untuk mengembangkan semua potensi anak didik secara imbang dan optimal.

Kurikulum dan Profesionalisme Guru
Persoalan mendasar kedua yang harus mendapat penekanan bagi para guru dan pengelola lembaga pendidikan adalah kurikulum dan guru yang akan mengolah kurikulum tersebut dalam proses pembelajaran sehari-hari di sekolah. Kurikulum sebagai manifestasi program aksi merupakan penjabaran visi dan misi guna mencapai sosok manusia yang akan dibentuknya. Kurikulum tidak hanya terdiri dari daftar mata pelajaran dan silabus, pokok bahasan dan sub-pokok bahasan, tetapi juga mencakup keluasan dan kedalaman materi dan sumber literatur yang diajarkan, serta sinkronisasi materi dengan tingkat perkembangan jiwa dan potensi yang dimiliki anak serta peruntukan materi tersebut.
Dalam konteks pembentukan sosok manusia melalui pengolahan kurikulum ini, setiap guru tidak sekedar dituntut menguasai cakupan luas dan dalamnya kurikulum, tetapi juga harus mampu mengembangkannya secara kontekstual dalam situasi kelas sesuai tingkat perkembangan dan daya pemahaman siswa. Pengembangan kurikulum tidak terbatas pada penyusunan dan penetapan daftar mata pelajaran berikut silabus dan literatur wajib yang menjadi wewenang pejabat Diknas pusat, tetapi mengerucut sampai penekanan materi dan literatur pokok serta pemilihan materi dan literatur tambahan yang harus diberikan kepada siswa. Tugas ini menjadi sangat sulit karena sebagian besar guru, khususnya di sekolah-sekolah non-unggulan, baik swasta maupun negeri, menguasai materi kurikulum hanya sebatas aras ingatan (memory) dan hafalan, dan jarang yang sampai aras pemahaman dan analisis isi. Pendeknya, para guru lebih banyak menguasai aspek ontologi kurikulum (apa, siapa, kapan, dimana), ketimbang aspek epistemologinya (bagaimana, mengapa) dan aspek aksiologinya (untuk apa).
Penguasaan materi kurikulum yang timpang ini semakin diperparah oleh adanya perubahan-perubahan silabus dan cakupan materi kurikulum yang ditetapkan dari pusat. Perubahan kurikulum yang merupakan keniscayaan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini seringkali susah diikuti oleh para guru yang minim bacaan dan miskin literatur. Akibatnya, banyak guru yang terpaksa mengajarkan pengetahuan mekanis sebatas yang diingat dan dihafalnya tanpa menyentuh materi-materi baru yang berkembang pesat. Akibat lebih lanjut, pengetahuan yang diserap anak juga bersifat mekanis dan tidak up to date. Kelemahan ini masih dipertajam oleh fakta bahwa di banyak sekolah non-unggulan, masih banyak guru yang mengampu mata pelajaran di luar kompetensinya, baik kompetensi formal maupun kompetensi non-formalnya. Sinkronisasi keahlian formal dan substansial guru dengan mata pelajaran yang diampunya masih menjadi persoalan serius di sekolah-sekolah yang belum mapan.

Pendekatan Pembelajaran dan Sistem Evaluasi
Persoalan mendasar ketiga yang memiliki andil cukup besar bagi kegagalan siswa adalah pendekatan pembelajaran yang diterapkan guru untuk menyampaikan materi dan sistem evaluasi yang digunakan untuk menguji tingkat keberhasilan siswa dalam menyerap materi kurikulum. Pendekatan pembelajaran yang diterapkan guru akan tergantung pada pandangan dasar guru tentang hakekat pendidikan dan tugas pokok pendidikan. Pandangan pertama memandang pendidikan dan tugas pokok pendidikan adalah “mentransfer ilmu dan nilai-nilai yang diyakini benar kepada anak didik.” Sementara pandangan kedua memandang pendidikan dan tugas pokok pendidikan adalah “membantu anak didik dalam menginternalisasikan ilmu dan nilai-nilai ke dalam dirinya sendiri.” Pandangan pertama melahirkan pendekatan mekanis-monologis (komunikasi satu-arah), dengan lebih banyak menggunakan metode ceramah, drill, dan hafalan. Sementara pandangan kedua melahirkan pendekatan organis-dialogis (komunikasi multi-arah). Pandangan pertama membuat guru aktif dan siswa pasif, sementara pandangan kedua mengharuskan guru dan siswa sama-sama aktif dalam proses pembelajaran.
Pandangan pertama memposisikan anak didik semata sebagai obyek atau wadah yang siap diisi sesuai keinginan guru, sementara pandangan kedua memposisikan anak didik sebagai subyek dan pelaku yang proaktif menyerap materi dengan bantuan dan fasilitasi guru yang proaktif pula. Pandangan pertama juga lebih menekankan penguasaan kuantitas materi, sementara pandangan kedua tidak sekedar mengejar kuantitas tetapi juga rasionalisasi dan analisis terhadap isi materi yang dibahas. Kebanyakan guru lebih dekat dan akrab dengan pandangan dan pendekatan pertama ketimbang pandangan dan pendekatan kedua. Anak didik pun kemudian lebih terarahkan pada penguasaan kuantitas ketimbang kualitas dan kedalaman materi pembelajaran. Dalam perkataan lain, pengembangan anak didik lebih ditekankan pada kapasitas ingatan dan hafalan ketimbang kemampuan berfikir dan menalar. Akibatnya, anak didik tidak terbiasa berfikir analitis dan kreatif.
Sejalan dengan ini, sistem evaluasi yang diterapkan untuk menguji tingkat keberhasilan siswa juga lebih menekankan aspek ingatan dan hafalan ketimbang kemampuan mencerna dan memahami suatu persoalan ilmu. Penerapan bentuk multiple-choice test ketimbang essay test menunjukkan kuatnya kecenderungan ini. Tes jenis pertama hanya mampu mengukur seberapa banyak anak didik mampu mengingat materi hafalan yang dikuasainya. Sebaliknya, tes jenis kedua mengukur seberapa dalam anak mampu memahami dan menganalisis inti persoalan yang diujikan. Jenis tes pertama mengandung implikasi bahwa anak didik tidak mungkin mendapat nilai atas soal yang materinya tidak tersedia dalam memori hafalannya. Hal serupa tidak terjadi pada jenis tes kedua karena yang dinilai adalah kualitas jawaban yang diberikan oleh siswa.

***

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.